Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi adalah turunan dari seorang
hakim golongan Padri yang “benar-benar” anti penjajahan Belanda. Ia
dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1855 oleh ibu bernama Limbak Urai.
Limbak Urai adalah saudara dari Muhammad Shaleh Datuk Bagindo, Laras, Kepala
Nagari Ampek Angkek yang berasal dari Koto Tuo Balaigurah, Kecamatan Ampek
Angkek Candung.
Ayahnya adalah Abdullatief Khatib Nagari, saudara dari Datuk Rangkayo
Mangkuto, Laras, Kepala Nagari Kotogadang, Kecamatan IV Koto, di seberang
ngarai Bukittinggi. Baik dari pihak ibu ataupun pihak ayahnya, Ahmad
Khatib adalah anak terpandang, dari kalangan keluarga yang mempunyai latar
belakang agama dan adat yang kuat, anak dan kemenakan dari dua orang tuanku
Laras dari Ampek Koto dan Ampek Angkek. Ditenggarai, bahwa ayah dan ibu
Ahmad Khatib dipertemukan dalam pernikahan berbeda nagari ini, karena sama-sama
memiliki kedudukan yang tinggi dalam adat, dari keluarga tuanku laras, dan
latar belakang pejuang Paderi, dari keluarga Pakih Saghir dan Tuanku nan Tuo.Ia
meninggalkan kampung halamannya pergi ke Mekah pada tahun 1871 dibawa oleh
ayahnya.Sampai dia menamatkan pendidikan, dan menikah pada 1879 dengan seorang
putri Mekah Siti Khadijah, anak dari Syekh Shaleh al-Kurdi, maka Syekh Ahmad
Khatib mulai mengajar dikediamannya di Mekah tidak pernah kembali ke daerah
asalnya. Syekh Ahmad Khatib, mencapai derajat kedudukan yang tertinggi
dalam mengajarkan agama sebagai imam dari Mazhab Syafei di Masjidil Haram, di
Mekah. Semasa hidupnya, Beberapa karyanya tertulis dalam bahasa Arab dan
Melayu, salah satunya adalah al-Jauhar
al-Naqiyah fi al-A’mali al-Jaibiyah Kitab tentang ilmu Miqat ini
diselesaikan pada hari Senin 28 Dzulhijjah 1303 H.
Karya lainnya adalah hsyiyatun Nafahat
ala Syarh al-Waraqat Syeikh Ahmad Khatib menyelesaikan penulisan kitab
ini pada hari Kamis, 20 Ramadhan 1306 H, isinya tentang usul fiqih.
Karyanya yang membahas ilmu matematika dan al-Jabar adalahRaudhatul Hussab
fi A’mali Ilmil Hisab yang selesai ditulis pada hari Ahad
19 Dzulqaedah 1307 H di Makkah.Syeikh Ahmad Khatib adalah tiang tengah dari
mazhab Syafi’i dalam dunia Islam pada permulaan abad ke XIV. Ia juga
dikenal sebagai ulama yang sangat peduli terhadap pencerdasan umat. Imam
Masjidil Haram ini adalah ilmuan yang menguasai ilmu fiqih, sejarah, aljabar,
ilmu falak, ilmu hitung, dan ilmu ukur(geometri).
Selain masalah teologi, dia juga pakar dalam ilmu falak. Hingga saat ini, ilmu
falak digunakan untuk menentukan awal Ramadhan dan Syawal, perjalanan matahari
termasuk perkiraan wahtu shalat, gerhana bulan dan matahari, serta kedudukan
bintang-bintang tsabitah dan sayyarah, galaksi dan lainnya.
Syeikh Ahmad Khatib juga pakar dalam geometri dan tringonometri yang
berfungsi untuk memprediksi dan menentukan arah kiblat, serta berfungsi untuk
mengetahui rotasi bumi dan membuat kompas yang berguna saat berlayar.
Kajian dalam bidang geometri ini tertuah dalam karyanya yang bertajuk Raudat al-Hussab dan Alam al-Hussab
Keunggulan dari Syekh Ahmad Khatib dalam memberikan pelajaran kepada
muridnya, selalu menghindari sikap taqlid. Salah seorang dari muridnya,
yakni H.Abdullah Ahmad, yang kemudian menjadi salah seorang di antara para
ulama dan zuama, pemimpin kaum pembaru di Minangkabau, pendiri Sumatera
Thawalib, yang berawal dari pengajian di Masjid Zuama, Jembatan Besi,
Padangpanjang, dan kemudian mendirikan pula Persatuan Guru Agama Islam (PGAI),
di Jati, Padang, telah mengembangkan ajaran gurunya melalui pendidikan dan
pencerahan tradisi ilmu dan mendorong pula para muridnya untuk mempergunakan
akal yang sesungguhnya adalah kurnia Allah yang harus dimaksimalkan.
Pemahaman dan pendalaman dari Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawy ini,
kemudian dilanjutkan oleh gerakan pembaruan di Minangkabau, melalui tabligh,
diskusi, dan muzakarah ulama dan zu’ama, penerbitan brosur dan surat-kabar
pergerakan, pendirian sekolah-sekolah seperti madrasah-madrasah Sumatera
Thawalib, dan Diniyah Puteri, sampai ke nagari-nagari di Minangkabau, sehingga
menjadi pelopor pergerakan merebut kemerdekaan Republik Indonesia.
MURID-MURID SYEKH AHMAD KHATIB
1. Karim Amarullah
Haji Abdul Karim Amrullah, disebut pula sebagai Haji Rasul, dilahirkan
di desa Kepala Kabun, Nagari Sungai Batang, Maninjau, Agam, Sumatera Barat pada
tanggal 10 Februari 1879, dengan nama kecil Muhammad Rasul. Ayahnya bernama
Syekh Muhammad Amrullah, seorang syekh dari tarekat Naqsyabandiyah. Ibunya
bernama Andung Tarawas. Pada tahun 1894 beliau dikirim ayahnya ke Mekah
untuk menimba ilmu, dan berguru pada Syeh Ahmad Khatib yang pada waktu itu
menjadi guru dan imam Masjidil Haram. Pada tahun 1925, sepulangnya dari
perjalanan ke Jawa, beliau mengembangkan cabang organisasi Muhammadiyah di
Minangkabau, yaitu di Sungai Batang, kampung halamannya.
Haji Abdul Karim Amrullah wafat pada tanggal 2 Juni 1945.Salah satu
puteranya, yaitu Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), dikenal banyak
orang sebagai ulama besar dan sastrawan Indonesia angkatan BalaiPustaka.
2. Muhammad Jamil Jambek
Syekh Muhammad Jamil Jambek adalah ulama pelopor pembaruan Islam dari
Sumatra Barat awal abad ke-20, dikenal juga sebagai ahli ilmu falak
terkemuka. Nama Syekh Muhammad Jamil Jambek lebih dikenal dengan sebutan
Syekh Muhammad Jambek, dilahirkan dari keluarga bangsawan. Dia juga merupakan
keturunan penghulu. Ayahnya bernama Saleh Datuk Maleka, seorang kepala
nagari Kurai, sedangkan ibunya berasal dari Sunda.
Masa kecilnya tidak banyak diketahui. Namun, yang jelas Syekh Muhammad Jambek
mendapatkan pendidikan dasarnya di Sekolah Rendah yang khusus mempersiapkan
pelajar untuk masuk ke sekolah guru. Kemudian, dia dibawa ke Mekkah oleh
ayahnya pada usia 22 tahun, untuk menimba ilmu.
Ketika itu dia berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau.
Selama belajar di tanah suci, banyak ilmu agama yang dia dapatkan. Antara lain
yang dipelajari secara intensif adalah tentang ilmu tarekat serta memasuki
suluk di Jabal Abi Qubais.
Dengan pendalaman tersebut Syekh Muhammad Jambek menjadi seorang ahli tarekat
dan bahkan memperoleh ijazah dari tarekat Naqsabandiyyah-Khalidiyah.
Namun, dari semua ilmu yang pernah didalami yang pada akhirnya membuatnya
terkenal adalah tentang ilmu falak. Keahliannya di bidang ilmu falak
mendapat pengakuan luas di Mekkah. Oleh sebab itu, ketika masih berada di tanah
suci, Syekh Muhammad Jambek pun mengajarkan ilmunya itu kepada para penuntut
ilmu dari Minangkabau yang belajar di Mekkah. Seperti, Ibrahim Musa
Parabek (pendiri perguruan Tawalib Parabek) serta Syekh Abbas Abdullah (pendiri
perguruan Tawalib Padang Panjang).
Pada tahun 1903, dia kembali ke tanah air. Ia pun memilih
mengamalkan ilmunya secara langsung kepada masyarakat; mengajarkan ilmu tentang
ketauhidan dan mengaji. Di antara murid-muridnya terdapat beberapa guru
tarekat. Lantaran itulah Syekh Muhammad Jambek dihormati sebagai Syekh
Tarekat.
Seiring perjalanan waktu, sikap dan pandangannya terhadap tarekat mulai
berubah. Syekh Muhammad Jambek kini tidak lagi tertarik pada tarekat.
Pada awal tahun 1905, ketika diadakan pertemuan ulama guna membahas keabsahan
tarekat yang berlangsung di Bukit Surungan, Padang Panjang, Syekh Muhammad
berada di pihak yang menentang tarekat. Dia “berhadapan” dengan Syekh
Bayang dan Haji Abbas yang membela tarekat.
Kemudian dia menulis buku mengenai kritik terhadap tarekat berjudul
Penerangan Tentang Asal Usul Thariqatu al-Naksyabandiyyah dan Segala yang
Berhubungan dengan Dia, terdiri atas dua jilid. Salah satu penjelasan dalam
buku itu, yakni tarekat Naksyabandiyyah diciptakan oleh orang dari Persia dan
India. Syekh Muhammad Jambek menyebut orang-orang dari kedua negeri itu
penuh takhayul dan khurafat yang makin lama makin jauh dari ajaran Islam.
Akan tetapi secara umum dia bersikap tidak ingin bermusuhan dengan adat
istiadat Minangkabau. Tahun 1929, Syekh Muhammad Jambek mendirikan
organisasi bernama Persatuan Kebangsaan Minangkabau dengan tujuan untuk
memelihara, menghargai, dan mencintai adat istiadat setempat. Walaupun
beliau pada awal-awal nya sebagai guru tarekat akhirnya termasuk salah satu
ulama yang membebaskan masyarakat dari kemusyrikan.
3. Sulaiman Arrasuli
Pendidikan terakhir Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minankabawi adalah di
Mekkah. Ulama yang seangkatan dengannya antara lain adalah Kiyai Haji Hasyim
Asyari dari Jawa Timur (1287 H/1871 M – 1366 H/1947 M), Syeikh Hasan Maksum,
Sumatra Utara (wafat 1355 H/1936 M), Syeikh Khathib Ali al-Minankabawi, Syeikh
Muhammad Zain Simabur al-Minankabawi (sempat menjadi Mufti Kerajaan Perak tahun
1955 dan wafat di Pariaman pada 1957), Syeikh Muhammad Jamil Jaho
al-Minankabawi, Syeikh Abbas Ladang Lawas al-Minankabawi dll. Sementara
ulama Malaysia yang seangkatan dan sama-sama belajar di Mekkah dengannya antara
lain adalah Syeikh Utsman Sarawak (1281 H/1864 M – 1339 H/1921 M), Tok Kenali
(1287 H/1871 M – 1352 H/1933 M) dll.
Ketika tinggal di Mekah, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minankabawi selain
belajar dengan Syeikh Ahmad Khatib Abdul Lathif al-Minankabawi, beliau juga
mendalami ilmu-ilmu dari pada ulama Kelantan dan Patani. Antaranya,
Syeikh Wan Ali Abdur Rahman al-Kalantani, Syeikh Muhammad Ismail al-Fathani dan
Syeikh Ahmad Muhammad Zain al-Fathani. Pada tahun 1928 itu juga, Syeikh
Sulaiman ar-Rasuli bersama sahabat-sahabatnya Syeikh Abbas Ladang Lawas dan Syeikh
Muhammad Jamil Jaho mengasaskan Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Kemudian
persatuan tersebut menjadi sebuah partai politik yang mempunyai singkatan nama
PERTI. Baik dalam sistem pendidikan mahupun perjuangan dalam partai
politik, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli dan kawan-kawannya secara tegas dan berani
mempertahankan dan berpegang dengan satu mazhab, iaitu Mazhab Syafie.
Beberapa orang ahli sejarah telah mencatatkan bahawa Syeikh Sulaiman
ar-Rasuli adalah memang seorang ulama besar yang berpengaruh terhadap kawan dan
lawan. Sejak zaman pemerintah Belanda, pembesar-pembesar Belanda datang
menziarahi beliau. Demikian juga pemimpin-pemimpin setelah kemerdekaan
Indonesia. Soekarno sejak belum menjadi Presiden Indonesia hingga setelah
berkuasa memang sering berkunjung ke rumah Syeikh Sulaiman ar-Rasuli.
Pada hari pengkebumian beliau, dianggarkan 30,000 orang hadir termasuk ramai
pemimpin dari Jakarta, bahkan juga dari Malaysia.
4. Hasyim Asya’ari
Kyai Haji Mohammad Hasyim Asy’arie (bagian belakangnya juga sering dieja
Asy’ari atau Ashari) (10 April 1875 (24 Dzulqaidah 1287H)–25 Juli 1947;
dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang) adalah pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi
massa Islam yang terbesar di Indonesia.
KH Hasyim Asyari adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Ayahnya bernama Kyai
Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya
bernama Halimah. Dari garis ibu, Hasyim merupakan keturunan kedelapan dari Jaka
Tingkir (Sultan Pajang).
Berikut silsilah lengkapnya[rujukan?]: Ainul Yaqin (Sunan Giri), Abdurrohman
(Jaka Tingkir), Abdul Halim (Pangeran Benawa), Abdurrohman (Pangeran Samhud
Bagda), Abdul Halim, Abdul Wahid, Abu Sarwan, KH. Asy’ari (Jombang), KH. Hasyim
Asy’ari (Jombang)
KH Hasyim Asy'ari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman
yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, beliau
berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di
Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang,
Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo.
Pada tahun 1892, KH Hasyim Asyari pergi menimba ilmu ke Mekah, dan
berguru pada Syeh Ahmad Khatib dan Syekh Mahfudh at-Tarmisi. Pada tahun
1899, sepulangnya dari Mekah, KH Hasyim Asyari mendirikan Pesantren Tebu Ireng,
yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad
20. Pada tahun 1926, KH Hasyim Asyari menjadi salah satu pemrakarsa
berdirinya Nadhlatul Ulama (NU), yang berarti kebangkitan ulama.
Walaupun sama-sama berguru kepada syeikh khatib al-minangkabawi KH hasyim
asy'ari juga memiliki pandangan berbeda dengan murid-murid syeikh khatib yang
lain seperti ahmad dahlan pendiri organisasi muhamadiyah , walaupun demikian
mereka tetap saling menghargai satu sama lain, pada pembahasan selanjutnya akan
saya coba membahas perbedaan pandangan para murid-murid syaikh khatib al-minagkabawi
5. Ahmad Dahlan
Kyai Haji Ahmad Dahlan (lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868 – meninggal
di Yogyakarta, 23 Februari 1923 pada umur 54 tahun) adalah seorang Pahlawan
Nasional Indonesia. Ia adalah putera keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga
KH. Abu Bakar. KH. Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di
Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari KH. Ahmad Dahlan
adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kasultanan Yogyakarta
pada masa itu.
Nama kecil KH. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Ia merupakan
anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhanya saudaranya
perempuan, kecuali adik bungsunya. Ia termasuk keturunan yang kedua belas
dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka di antara Walisongo,
yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa.[1] Silsilahnya tersebut
ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana ‘Ainul Yaqin, Maulana
Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom),
Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai
Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad
Dahlan).
Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima
tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan
pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani,
Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun
1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Pada tahun 1903, ia bertolak
kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, ia sempat
berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim
Asyari. Walaupun pernah satu guru tapi tak selamanya cara pandang orang
tersebut sama ini terbukti dengan perbedaan yang terjadi antara pendiri NU
hasyim Asyari dan ahmad dahlan pendiri muhamadiyah.
Pengaruh Syekh Khatib Al-Minangkabawi
Syeikh Ahmad Khatib al Minangkabawi ini boleh dikatakan menjadi tiang
tengah dari Madzhab Syafi’i dalam dunia Islam pada permulaan abad ke XIV.
Beliau banyak sekali mengarang kitab dalam bahasa Arab dan bahasa Melayu
(Indonesia), di antaranya yang banyak tersiar di Indonesia, adalah:
l. Riyadathul Wardhiyah dalam ilmu fiqih.
2. Al Khitathul Mardhiah, soal membaca “Ushalli”.
3. Al Minhajul Masyru’, soal faraidh (harta pusaka).
4. Ad Dalilul Masmu’, soal hukum pembagian harta pusaka.
5. An Nafahaat, Syarah waraqaat. (usul fiqih).
Perhatiannya terhadap hukum waris juga sangat tinggi, kepakarannya dalam mawarits
(hukum waris) telah membawa pembaharuan adat Minang yang bertentangan dengan
Islam. Martin van Bruinessen mengatakan, karena sikap reformis inilah
akhirnya al-Minangkabawi semakin terkenal. Salah satu kritik Syeikh Ahmad
Khatib yang cukup keras termaktub di dalam kitabnya Irsyadul Hajara fi Raddhi
‘alan Nashara. Di dalam kitab ini, ia menolak doktrin trinitas Kristen
yang dipandangnya sebagai konsep Tuhan yang ambigu.
Cara berpikir seorang beragama Islam bertolak dari anggapan keyakinan, bahwa
Islam itu tidak mungkin memusuhi kebudayaan. Dengan kemajuan cara
berpikir orang berusaha menemukan kembali cita-citanya dalam Islam.
Timbul pertanyaan, apakah di dalam Islam ada unsur yang menyangkut kepada
cita-cita persamaan, kebangsaan, hasrat untuk maju dan rasionalisme.
Keunggulan dari Syekh Ahmad Khatib dalam memberikan pelajaran kepada muridnya,
selalu menghindari sikap taqlid.
Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawy menyebarkan pikiran-pikirannya dari Mekah
melalui tulisan-tulisannya di majalah atau buku-buku agama Islam, dan melalui
murid-murid yang belajar kepadanya. Dengan cara itu, beliau memelihara
hubungan dengan daerah asalnya Minangkabau, melalui murid-muridnya yang
menunaikan ibadah haji ke Mekah, dan yang belajar padanya. Mereka inilah
kemudian menjadi guru di daerah asalnya masing-masing. Sejak berangkat ke
tanah suci mekah Ahmad Khatib tidak pernah kembali ke tanah air, tetapi
pengaruh nya cukup besar di Minangkabau, tanah asalnya pengaruh Ahmad Khatib di
indonesia agak terbatas
Tetapi pengaruh Ahmad Khatib teradap murid-muridnya yang berasal dari
daerah minang kabau tidak dapat di sangkal lagi, umumnya murid-murid Ahmad
Khatib menolak hukum waris adat Minangkabau yang berpusaka kepada kemenakan,
khusus dikalangan pembaharu, penolakan Ahmad Khatib terhadap tarikat
naqsybandiah di teruskan oleh murid- muridnya kemudian, Ahmad Khatib juga
berjasa dalam mendidik murid-murid yang datang dari Indonesia yang belajar
kepadanya, sebagian mereka menjadi ulama dan tokoh dakwah terkemuka di
Indonesia
Penolakan Ahmad Khatib terhadap hukum waris adat di Minangkabau di
perjuangkan dengan sangat gigih oleh muridnya yahya, yang terkenal dengan
Tuanku Simabur berasal dari tanah datar sekarang kabupaten, dalam tulisan,
khutbah, dan pengajian karang kabupaten, simabur mengumumkan perang kepada kaum
adat serta ulama ikut membantu menegakkan hukum adat mengenai waris.
Penolakan terhadap tarekat naqsyabandiah di suarakan oleh muridnya Dr.
H. Abdul Karim Amarullah, Dr. Haji Abdullah Ahmad, dan Syeikh Muhammad Jamil
Jambek. Dr. H. Karim Amarullah dan Dr H. Abdullah Ahmad bersama dua orang
muridnya pernah terlibat perdebatan dengan tokoh tarekat naqsyabandiah dipdang
pada tahun 1906. Tokoh naqsyabandiah tersebut adalah itu adalah Syeikh
Khatib Ali, salah seorang murid Ahmad Khatib penentang adat, Khatib Saidina,
Tuanku Syeikh Bayang, dan Tuanku Syeikh Seberang Pandang, imam mesjid ganting
dalam perdebatan ini pihak pembela tarekat naqsyabandi kewalahan menghadap
ulama muda yang di didik oleh Ahmad Khatib, mereka dapat mengemukakan
keterangan dan dasar-dasar yang kuat dalam menentang tarekat, sejak peritiwa
itu timbullah sebutan “kaum muda” dan “kaum tua”golongan yang disebut pertama
adalah mereka yang terdiri ulama yang setuju dengan pendapat Ahmad Khatib dalam
menolak tarekat, walaupun di pihak pembela tarekat juga ada murid Ahmad Khatib,
namun beliau tidak dapat mematahkan argumentasi kawan-kawan seperguruannya.
Polemik Murid-Murid dan Murakazah Syekh Khatib Al-Minangkabawi
Kecamannya mengenai tarekat, telah dijawab oleh Syekh Muhamamad Saat bin Tanta’
dari Mungkar dan Syekh Khatib Ali di Padang yang menerbitkan beberapa tulisan
tentang itu.Kecamannya dalam harta warisan, menumbuhkan kesadaran banyak orang
Minangkabau memahami, bahwa tidak dapat disesuaikan hukum waris matrilineal
dengan hukum agama. Di antara guru agama banyak juga yang tidak dapat
menyetujui pendirian Ahmad Khatib, yang dianggap tidak kenal damai. Walaupun
pikiran-pikiran itu mendapat tantangan dari kaum adat, maupun muridnya yang
tidak menyetujui pemikiran demikian, namun perbedaan pendapat ini telah
melahirkan hasrat untuk lebih berkembang, menghidupkan kembali kesadaran untuk
pengenalan kembali diri sendiri, yaitu kesadaran untuk meninggalkan
keterbelakangan.
Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi berkontroversi dengan sayid utsman
(mufti betawi) dan beberapa ulama yang berasal dari palembang dan ulama-ulama
yang lainya. Polemik yang paling hebat adalah pandangan tentang tarekat
naqsyabandiyah. Syekh Khatib Al-Minangkabawi telah disanggah ramai ulama ulama
minagkabau sendiri terutama oleh ulama besar, sahabatnya, beliu adalah Syeikh
Muhammad Sa’ad Mungka yang berasal dari Mungkar Tua, Minangkabau
Dalam beberapa karya Ahmad Khatib menunjukkan bahwa barang siapa masih
mematuhi lembaga-lembaga “kafir”, adalah kafir dan akan masuk neraka. Kemudian,
semua harta benda yang diperoleh menurut hukum waris kepada kemenakan, menurut
pendapat Ahmad Khatib harus dianggap sebagai harta rampasan.
Pemikiran-pemikiran yang disampaikan Ahmad Khatib memicu pembaruan pemikiran
Islam di Minangkabau. Di pihak lain perlawanan yang berarti terhadap
pemikiran Ahmad Khatib datang dari kalangan Islam tradisi yang adakalanya
disebut kaum tua. Pemahaman dan pendalaman dari Syekh Ahmad Khatib
Al-Minangkabawi ini, kemudian dilanjutkan oleh gerakan pembaruan di
Minangkabau, melalui tabligh, diskusi, dan muzakarah ulama dan zu’ama,
penerbitan brosur dan surat-kabar pergerakan, pendirian sekolah-sekolah seperti
madrasah-madrasah Sumatera Thawalib,Syeikh Khatib Al-Minangkabawi juga
mendapatkan terhadap kesuksesannya sebagai guru, Muhammad Sa’id Babsil, seorang
ulama Arab dan mufti mazhab Syafi’i yang juga guru masjidil haram merasa iri
terhadap kemajuan yang dicapai oleh Ahmad Khatib di negeri Arab.
Ia merasa tidak senang melihat non arab memperoleh tempat mengajar di
pusat pengajaran kota Mekah. Maka atas hasutannya, ketika Ahmad Khatib baru
mengajar di Masjidil Haram, beliu di lempari batu, mufti ini tidak dapat
berbuat lain, karena ahmad khatib mendapat ijin Syarief awn Al-Rafiq untuk
mengajar di situ. Peristiwa yang sama juga dialami oleh muridnya haji
Abdul Karim amarullah di tempat yang sama. Karena gagal mematahkan
semangat dan membatasi Ahmad Khatib di Mekah, ia lalu bertindak sesuka hatinya
kepada haji Abdul Karim Amarullah murid kesayangan Ahmad Khatib. Ketika
Abdul Karim Amarullah datang kedua kalinya ke Mekah beliau lebih banyak
mengajar dari pada belajar. Setelah tempatnya mengajar penuh oleh murid, beliau
disuruh Ahmad Khatib mengajar di Masjidil Haram. Beberapa hari haji Abdul
Karim Amarullah datanglah mufti itu mengusirnya, ia jengkel sekali bahwa yang
meyuruh mengajar di Masjidil Haram adalah Syeikh Ahmad Khatib.
Rasa tidak senang Syeikh Muhammad Sa’id Babsil Kepada Ahmad Khatib
bermula dari dari permusuhannya dengan guru syeikh ahmad khatib yaitu syeikh
bakr al-syatta. Kemudia ditambah lagi dengan iri hati atas sukses ulama asal
Indonesia itu di kota Mekah dan tanah Hijaz.
Sifat Ahmad Khatib dalam menentang adat juga mendapat tantangan dari
banyak guru agama diatara yang mengemukakan tanggapannya kepada Ahmad Khatib
adalah Syeikh Sa’ad adalam tulisannya Tabih Al-Awam, yang telah saya
sampaikan juga di atas dalam buku itu ia menyinggung hal ini sambil lalu dengan
nada sinis ia mengatakan ; “Jika harta orang Minang dianggap haram maka haram
pulalah juga pemberian yang berasal dari suku bangsa ini”.
Ucapan diatas tidak lebih pelampiasan rasa benci belaka kepada ulama
penentang tarekat itu. Semua tantangan yang di hadapi oleh Ahmad Khatib
tersebut tidak megurangi kharismanya, bahkan sebaliknya menambah popularitasnya
dan menambah penghormatan kaum pembaharu/kaum muda di Minang Kabau kepadanya.
WALLOHU 'ALAM
Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi adalah turunan dari seorang
hakim golongan Padri yang “benar-benar” anti penjajahan Belanda. Ia
dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1855 oleh ibu bernama Limbak Urai.
Limbak Urai adalah saudara dari Muhammad Shaleh Datuk Bagindo, Laras, Kepala
Nagari Ampek Angkek yang berasal dari Koto Tuo Balaigurah, Kecamatan Ampek
Angkek Candung.
Ayahnya adalah Abdullatief Khatib Nagari, saudara dari Datuk Rangkayo
Mangkuto, Laras, Kepala Nagari Kotogadang, Kecamatan IV Koto, di seberang
ngarai Bukittinggi. Baik dari pihak ibu ataupun pihak ayahnya, Ahmad
Khatib adalah anak terpandang, dari kalangan keluarga yang mempunyai latar
belakang agama dan adat yang kuat, anak dan kemenakan dari dua orang tuanku
Laras dari Ampek Koto dan Ampek Angkek. Ditenggarai, bahwa ayah dan ibu
Ahmad Khatib dipertemukan dalam pernikahan berbeda nagari ini, karena sama-sama
memiliki kedudukan yang tinggi dalam adat, dari keluarga tuanku laras, dan
latar belakang pejuang Paderi, dari keluarga Pakih Saghir dan Tuanku nan Tuo.Ia
meninggalkan kampung halamannya pergi ke Mekah pada tahun 1871 dibawa oleh
ayahnya.Sampai dia menamatkan pendidikan, dan menikah pada 1879 dengan seorang
putri Mekah Siti Khadijah, anak dari Syekh Shaleh al-Kurdi, maka Syekh Ahmad
Khatib mulai mengajar dikediamannya di Mekah tidak pernah kembali ke daerah
asalnya. Syekh Ahmad Khatib, mencapai derajat kedudukan yang tertinggi
dalam mengajarkan agama sebagai imam dari Mazhab Syafei di Masjidil Haram, di
Mekah. Semasa hidupnya, Beberapa karyanya tertulis dalam bahasa Arab dan
Melayu, salah satunya adalah al-Jauhar
al-Naqiyah fi al-A’mali al-Jaibiyah Kitab tentang ilmu Miqat ini
diselesaikan pada hari Senin 28 Dzulhijjah 1303 H.
Karya lainnya adalah hsyiyatun Nafahat
ala Syarh al-Waraqat Syeikh Ahmad Khatib menyelesaikan penulisan kitab
ini pada hari Kamis, 20 Ramadhan 1306 H, isinya tentang usul fiqih.
Karyanya yang membahas ilmu matematika dan al-Jabar adalahRaudhatul Hussab
fi A’mali Ilmil Hisab yang selesai ditulis pada hari Ahad
19 Dzulqaedah 1307 H di Makkah.Syeikh Ahmad Khatib adalah tiang tengah dari
mazhab Syafi’i dalam dunia Islam pada permulaan abad ke XIV. Ia juga
dikenal sebagai ulama yang sangat peduli terhadap pencerdasan umat. Imam
Masjidil Haram ini adalah ilmuan yang menguasai ilmu fiqih, sejarah, aljabar,
ilmu falak, ilmu hitung, dan ilmu ukur(geometri).
Selain masalah teologi, dia juga pakar dalam ilmu falak. Hingga saat ini, ilmu falak digunakan untuk menentukan awal Ramadhan dan Syawal, perjalanan matahari termasuk perkiraan wahtu shalat, gerhana bulan dan matahari, serta kedudukan bintang-bintang tsabitah dan sayyarah, galaksi dan lainnya.
Syeikh Ahmad Khatib juga pakar dalam geometri dan tringonometri yang
berfungsi untuk memprediksi dan menentukan arah kiblat, serta berfungsi untuk
mengetahui rotasi bumi dan membuat kompas yang berguna saat berlayar.
Kajian dalam bidang geometri ini tertuah dalam karyanya yang bertajuk Raudat al-Hussab dan Alam al-Hussab
Keunggulan dari Syekh Ahmad Khatib dalam memberikan pelajaran kepada
muridnya, selalu menghindari sikap taqlid. Salah seorang dari muridnya,
yakni H.Abdullah Ahmad, yang kemudian menjadi salah seorang di antara para
ulama dan zuama, pemimpin kaum pembaru di Minangkabau, pendiri Sumatera
Thawalib, yang berawal dari pengajian di Masjid Zuama, Jembatan Besi,
Padangpanjang, dan kemudian mendirikan pula Persatuan Guru Agama Islam (PGAI),
di Jati, Padang, telah mengembangkan ajaran gurunya melalui pendidikan dan
pencerahan tradisi ilmu dan mendorong pula para muridnya untuk mempergunakan
akal yang sesungguhnya adalah kurnia Allah yang harus dimaksimalkan.
Pemahaman dan pendalaman dari Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawy ini,
kemudian dilanjutkan oleh gerakan pembaruan di Minangkabau, melalui tabligh,
diskusi, dan muzakarah ulama dan zu’ama, penerbitan brosur dan surat-kabar
pergerakan, pendirian sekolah-sekolah seperti madrasah-madrasah Sumatera
Thawalib, dan Diniyah Puteri, sampai ke nagari-nagari di Minangkabau, sehingga
menjadi pelopor pergerakan merebut kemerdekaan Republik Indonesia.
MURID-MURID SYEKH AHMAD KHATIB
1. Karim Amarullah
Haji Abdul Karim Amrullah, disebut pula sebagai Haji Rasul, dilahirkan
di desa Kepala Kabun, Nagari Sungai Batang, Maninjau, Agam, Sumatera Barat pada
tanggal 10 Februari 1879, dengan nama kecil Muhammad Rasul. Ayahnya bernama
Syekh Muhammad Amrullah, seorang syekh dari tarekat Naqsyabandiyah. Ibunya
bernama Andung Tarawas. Pada tahun 1894 beliau dikirim ayahnya ke Mekah
untuk menimba ilmu, dan berguru pada Syeh Ahmad Khatib yang pada waktu itu
menjadi guru dan imam Masjidil Haram. Pada tahun 1925, sepulangnya dari
perjalanan ke Jawa, beliau mengembangkan cabang organisasi Muhammadiyah di
Minangkabau, yaitu di Sungai Batang, kampung halamannya.
Haji Abdul Karim Amrullah wafat pada tanggal 2 Juni 1945.Salah satu
puteranya, yaitu Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), dikenal banyak
orang sebagai ulama besar dan sastrawan Indonesia angkatan BalaiPustaka.
2. Muhammad Jamil Jambek
Syekh Muhammad Jamil Jambek adalah ulama pelopor pembaruan Islam dari
Sumatra Barat awal abad ke-20, dikenal juga sebagai ahli ilmu falak
terkemuka. Nama Syekh Muhammad Jamil Jambek lebih dikenal dengan sebutan
Syekh Muhammad Jambek, dilahirkan dari keluarga bangsawan. Dia juga merupakan
keturunan penghulu. Ayahnya bernama Saleh Datuk Maleka, seorang kepala
nagari Kurai, sedangkan ibunya berasal dari Sunda.
Masa kecilnya tidak banyak diketahui. Namun, yang jelas Syekh Muhammad Jambek mendapatkan pendidikan dasarnya di Sekolah Rendah yang khusus mempersiapkan pelajar untuk masuk ke sekolah guru. Kemudian, dia dibawa ke Mekkah oleh ayahnya pada usia 22 tahun, untuk menimba ilmu.
Masa kecilnya tidak banyak diketahui. Namun, yang jelas Syekh Muhammad Jambek mendapatkan pendidikan dasarnya di Sekolah Rendah yang khusus mempersiapkan pelajar untuk masuk ke sekolah guru. Kemudian, dia dibawa ke Mekkah oleh ayahnya pada usia 22 tahun, untuk menimba ilmu.
Ketika itu dia berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau.
Selama belajar di tanah suci, banyak ilmu agama yang dia dapatkan. Antara lain
yang dipelajari secara intensif adalah tentang ilmu tarekat serta memasuki
suluk di Jabal Abi Qubais.
Dengan pendalaman tersebut Syekh Muhammad Jambek menjadi seorang ahli tarekat dan bahkan memperoleh ijazah dari tarekat Naqsabandiyyah-Khalidiyah. Namun, dari semua ilmu yang pernah didalami yang pada akhirnya membuatnya terkenal adalah tentang ilmu falak. Keahliannya di bidang ilmu falak mendapat pengakuan luas di Mekkah. Oleh sebab itu, ketika masih berada di tanah suci, Syekh Muhammad Jambek pun mengajarkan ilmunya itu kepada para penuntut ilmu dari Minangkabau yang belajar di Mekkah. Seperti, Ibrahim Musa Parabek (pendiri perguruan Tawalib Parabek) serta Syekh Abbas Abdullah (pendiri perguruan Tawalib Padang Panjang).
Dengan pendalaman tersebut Syekh Muhammad Jambek menjadi seorang ahli tarekat dan bahkan memperoleh ijazah dari tarekat Naqsabandiyyah-Khalidiyah. Namun, dari semua ilmu yang pernah didalami yang pada akhirnya membuatnya terkenal adalah tentang ilmu falak. Keahliannya di bidang ilmu falak mendapat pengakuan luas di Mekkah. Oleh sebab itu, ketika masih berada di tanah suci, Syekh Muhammad Jambek pun mengajarkan ilmunya itu kepada para penuntut ilmu dari Minangkabau yang belajar di Mekkah. Seperti, Ibrahim Musa Parabek (pendiri perguruan Tawalib Parabek) serta Syekh Abbas Abdullah (pendiri perguruan Tawalib Padang Panjang).
Pada tahun 1903, dia kembali ke tanah air. Ia pun memilih
mengamalkan ilmunya secara langsung kepada masyarakat; mengajarkan ilmu tentang
ketauhidan dan mengaji. Di antara murid-muridnya terdapat beberapa guru
tarekat. Lantaran itulah Syekh Muhammad Jambek dihormati sebagai Syekh
Tarekat.
Seiring perjalanan waktu, sikap dan pandangannya terhadap tarekat mulai berubah. Syekh Muhammad Jambek kini tidak lagi tertarik pada tarekat. Pada awal tahun 1905, ketika diadakan pertemuan ulama guna membahas keabsahan tarekat yang berlangsung di Bukit Surungan, Padang Panjang, Syekh Muhammad berada di pihak yang menentang tarekat. Dia “berhadapan” dengan Syekh Bayang dan Haji Abbas yang membela tarekat.
Seiring perjalanan waktu, sikap dan pandangannya terhadap tarekat mulai berubah. Syekh Muhammad Jambek kini tidak lagi tertarik pada tarekat. Pada awal tahun 1905, ketika diadakan pertemuan ulama guna membahas keabsahan tarekat yang berlangsung di Bukit Surungan, Padang Panjang, Syekh Muhammad berada di pihak yang menentang tarekat. Dia “berhadapan” dengan Syekh Bayang dan Haji Abbas yang membela tarekat.
Kemudian dia menulis buku mengenai kritik terhadap tarekat berjudul
Penerangan Tentang Asal Usul Thariqatu al-Naksyabandiyyah dan Segala yang
Berhubungan dengan Dia, terdiri atas dua jilid. Salah satu penjelasan dalam
buku itu, yakni tarekat Naksyabandiyyah diciptakan oleh orang dari Persia dan
India. Syekh Muhammad Jambek menyebut orang-orang dari kedua negeri itu
penuh takhayul dan khurafat yang makin lama makin jauh dari ajaran Islam.
Akan tetapi secara umum dia bersikap tidak ingin bermusuhan dengan adat
istiadat Minangkabau. Tahun 1929, Syekh Muhammad Jambek mendirikan
organisasi bernama Persatuan Kebangsaan Minangkabau dengan tujuan untuk
memelihara, menghargai, dan mencintai adat istiadat setempat. Walaupun
beliau pada awal-awal nya sebagai guru tarekat akhirnya termasuk salah satu
ulama yang membebaskan masyarakat dari kemusyrikan.
3. Sulaiman Arrasuli
Pendidikan terakhir Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minankabawi adalah di
Mekkah. Ulama yang seangkatan dengannya antara lain adalah Kiyai Haji Hasyim
Asyari dari Jawa Timur (1287 H/1871 M – 1366 H/1947 M), Syeikh Hasan Maksum,
Sumatra Utara (wafat 1355 H/1936 M), Syeikh Khathib Ali al-Minankabawi, Syeikh
Muhammad Zain Simabur al-Minankabawi (sempat menjadi Mufti Kerajaan Perak tahun
1955 dan wafat di Pariaman pada 1957), Syeikh Muhammad Jamil Jaho
al-Minankabawi, Syeikh Abbas Ladang Lawas al-Minankabawi dll. Sementara
ulama Malaysia yang seangkatan dan sama-sama belajar di Mekkah dengannya antara
lain adalah Syeikh Utsman Sarawak (1281 H/1864 M – 1339 H/1921 M), Tok Kenali
(1287 H/1871 M – 1352 H/1933 M) dll.
Ketika tinggal di Mekah, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minankabawi selain
belajar dengan Syeikh Ahmad Khatib Abdul Lathif al-Minankabawi, beliau juga
mendalami ilmu-ilmu dari pada ulama Kelantan dan Patani. Antaranya,
Syeikh Wan Ali Abdur Rahman al-Kalantani, Syeikh Muhammad Ismail al-Fathani dan
Syeikh Ahmad Muhammad Zain al-Fathani. Pada tahun 1928 itu juga, Syeikh
Sulaiman ar-Rasuli bersama sahabat-sahabatnya Syeikh Abbas Ladang Lawas dan Syeikh
Muhammad Jamil Jaho mengasaskan Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Kemudian
persatuan tersebut menjadi sebuah partai politik yang mempunyai singkatan nama
PERTI. Baik dalam sistem pendidikan mahupun perjuangan dalam partai
politik, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli dan kawan-kawannya secara tegas dan berani
mempertahankan dan berpegang dengan satu mazhab, iaitu Mazhab Syafie.
Beberapa orang ahli sejarah telah mencatatkan bahawa Syeikh Sulaiman
ar-Rasuli adalah memang seorang ulama besar yang berpengaruh terhadap kawan dan
lawan. Sejak zaman pemerintah Belanda, pembesar-pembesar Belanda datang
menziarahi beliau. Demikian juga pemimpin-pemimpin setelah kemerdekaan
Indonesia. Soekarno sejak belum menjadi Presiden Indonesia hingga setelah
berkuasa memang sering berkunjung ke rumah Syeikh Sulaiman ar-Rasuli.
Pada hari pengkebumian beliau, dianggarkan 30,000 orang hadir termasuk ramai
pemimpin dari Jakarta, bahkan juga dari Malaysia.
4. Hasyim Asya’ari
Kyai Haji Mohammad Hasyim Asy’arie (bagian belakangnya juga sering dieja
Asy’ari atau Ashari) (10 April 1875 (24 Dzulqaidah 1287H)–25 Juli 1947;
dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang) adalah pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi
massa Islam yang terbesar di Indonesia.
KH Hasyim Asyari adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Ayahnya bernama Kyai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Hasyim merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang).
Berikut silsilah lengkapnya[rujukan?]: Ainul Yaqin (Sunan Giri), Abdurrohman (Jaka Tingkir), Abdul Halim (Pangeran Benawa), Abdurrohman (Pangeran Samhud Bagda), Abdul Halim, Abdul Wahid, Abu Sarwan, KH. Asy’ari (Jombang), KH. Hasyim Asy’ari (Jombang)
KH Hasyim Asy'ari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, beliau berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo.
KH Hasyim Asyari adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Ayahnya bernama Kyai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Hasyim merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang).
Berikut silsilah lengkapnya[rujukan?]: Ainul Yaqin (Sunan Giri), Abdurrohman (Jaka Tingkir), Abdul Halim (Pangeran Benawa), Abdurrohman (Pangeran Samhud Bagda), Abdul Halim, Abdul Wahid, Abu Sarwan, KH. Asy’ari (Jombang), KH. Hasyim Asy’ari (Jombang)
KH Hasyim Asy'ari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, beliau berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo.
Pada tahun 1892, KH Hasyim Asyari pergi menimba ilmu ke Mekah, dan
berguru pada Syeh Ahmad Khatib dan Syekh Mahfudh at-Tarmisi. Pada tahun
1899, sepulangnya dari Mekah, KH Hasyim Asyari mendirikan Pesantren Tebu Ireng,
yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad
20. Pada tahun 1926, KH Hasyim Asyari menjadi salah satu pemrakarsa
berdirinya Nadhlatul Ulama (NU), yang berarti kebangkitan ulama.
Walaupun sama-sama berguru kepada syeikh khatib al-minangkabawi KH hasyim asy'ari juga memiliki pandangan berbeda dengan murid-murid syeikh khatib yang lain seperti ahmad dahlan pendiri organisasi muhamadiyah , walaupun demikian mereka tetap saling menghargai satu sama lain, pada pembahasan selanjutnya akan saya coba membahas perbedaan pandangan para murid-murid syaikh khatib al-minagkabawi
Walaupun sama-sama berguru kepada syeikh khatib al-minangkabawi KH hasyim asy'ari juga memiliki pandangan berbeda dengan murid-murid syeikh khatib yang lain seperti ahmad dahlan pendiri organisasi muhamadiyah , walaupun demikian mereka tetap saling menghargai satu sama lain, pada pembahasan selanjutnya akan saya coba membahas perbedaan pandangan para murid-murid syaikh khatib al-minagkabawi
5. Ahmad Dahlan
Kyai Haji Ahmad Dahlan (lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868 – meninggal
di Yogyakarta, 23 Februari 1923 pada umur 54 tahun) adalah seorang Pahlawan
Nasional Indonesia. Ia adalah putera keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga
KH. Abu Bakar. KH. Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di
Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari KH. Ahmad Dahlan
adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kasultanan Yogyakarta
pada masa itu.
Nama kecil KH. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Ia merupakan
anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhanya saudaranya
perempuan, kecuali adik bungsunya. Ia termasuk keturunan yang kedua belas
dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka di antara Walisongo,
yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa.[1] Silsilahnya tersebut
ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana ‘Ainul Yaqin, Maulana
Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom),
Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai
Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad
Dahlan).
Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima
tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan
pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani,
Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun
1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Pada tahun 1903, ia bertolak
kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, ia sempat
berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim
Asyari. Walaupun pernah satu guru tapi tak selamanya cara pandang orang
tersebut sama ini terbukti dengan perbedaan yang terjadi antara pendiri NU
hasyim Asyari dan ahmad dahlan pendiri muhamadiyah.
Pengaruh Syekh Khatib Al-Minangkabawi
Syeikh Ahmad Khatib al Minangkabawi ini boleh dikatakan menjadi tiang
tengah dari Madzhab Syafi’i dalam dunia Islam pada permulaan abad ke XIV.
Beliau banyak sekali mengarang kitab dalam bahasa Arab dan bahasa Melayu
(Indonesia), di antaranya yang banyak tersiar di Indonesia, adalah:
l. Riyadathul Wardhiyah dalam ilmu fiqih.
2. Al Khitathul Mardhiah, soal membaca “Ushalli”.
3. Al Minhajul Masyru’, soal faraidh (harta pusaka).
4. Ad Dalilul Masmu’, soal hukum pembagian harta pusaka.
5. An Nafahaat, Syarah waraqaat. (usul fiqih).
Perhatiannya terhadap hukum waris juga sangat tinggi, kepakarannya dalam mawarits (hukum waris) telah membawa pembaharuan adat Minang yang bertentangan dengan Islam. Martin van Bruinessen mengatakan, karena sikap reformis inilah akhirnya al-Minangkabawi semakin terkenal. Salah satu kritik Syeikh Ahmad Khatib yang cukup keras termaktub di dalam kitabnya Irsyadul Hajara fi Raddhi ‘alan Nashara. Di dalam kitab ini, ia menolak doktrin trinitas Kristen yang dipandangnya sebagai konsep Tuhan yang ambigu.
Cara berpikir seorang beragama Islam bertolak dari anggapan keyakinan, bahwa Islam itu tidak mungkin memusuhi kebudayaan. Dengan kemajuan cara berpikir orang berusaha menemukan kembali cita-citanya dalam Islam. Timbul pertanyaan, apakah di dalam Islam ada unsur yang menyangkut kepada cita-cita persamaan, kebangsaan, hasrat untuk maju dan rasionalisme. Keunggulan dari Syekh Ahmad Khatib dalam memberikan pelajaran kepada muridnya, selalu menghindari sikap taqlid.
Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawy menyebarkan pikiran-pikirannya dari Mekah melalui tulisan-tulisannya di majalah atau buku-buku agama Islam, dan melalui murid-murid yang belajar kepadanya. Dengan cara itu, beliau memelihara hubungan dengan daerah asalnya Minangkabau, melalui murid-muridnya yang menunaikan ibadah haji ke Mekah, dan yang belajar padanya. Mereka inilah kemudian menjadi guru di daerah asalnya masing-masing. Sejak berangkat ke tanah suci mekah Ahmad Khatib tidak pernah kembali ke tanah air, tetapi pengaruh nya cukup besar di Minangkabau, tanah asalnya pengaruh Ahmad Khatib di indonesia agak terbatas
Tetapi pengaruh Ahmad Khatib teradap murid-muridnya yang berasal dari
daerah minang kabau tidak dapat di sangkal lagi, umumnya murid-murid Ahmad
Khatib menolak hukum waris adat Minangkabau yang berpusaka kepada kemenakan,
khusus dikalangan pembaharu, penolakan Ahmad Khatib terhadap tarikat
naqsybandiah di teruskan oleh murid- muridnya kemudian, Ahmad Khatib juga
berjasa dalam mendidik murid-murid yang datang dari Indonesia yang belajar
kepadanya, sebagian mereka menjadi ulama dan tokoh dakwah terkemuka di
Indonesia
Penolakan Ahmad Khatib terhadap hukum waris adat di Minangkabau di
perjuangkan dengan sangat gigih oleh muridnya yahya, yang terkenal dengan
Tuanku Simabur berasal dari tanah datar sekarang kabupaten, dalam tulisan,
khutbah, dan pengajian karang kabupaten, simabur mengumumkan perang kepada kaum
adat serta ulama ikut membantu menegakkan hukum adat mengenai waris.
Penolakan terhadap tarekat naqsyabandiah di suarakan oleh muridnya Dr.
H. Abdul Karim Amarullah, Dr. Haji Abdullah Ahmad, dan Syeikh Muhammad Jamil
Jambek. Dr. H. Karim Amarullah dan Dr H. Abdullah Ahmad bersama dua orang
muridnya pernah terlibat perdebatan dengan tokoh tarekat naqsyabandiah dipdang
pada tahun 1906. Tokoh naqsyabandiah tersebut adalah itu adalah Syeikh
Khatib Ali, salah seorang murid Ahmad Khatib penentang adat, Khatib Saidina,
Tuanku Syeikh Bayang, dan Tuanku Syeikh Seberang Pandang, imam mesjid ganting
dalam perdebatan ini pihak pembela tarekat naqsyabandi kewalahan menghadap
ulama muda yang di didik oleh Ahmad Khatib, mereka dapat mengemukakan
keterangan dan dasar-dasar yang kuat dalam menentang tarekat, sejak peritiwa
itu timbullah sebutan “kaum muda” dan “kaum tua”golongan yang disebut pertama
adalah mereka yang terdiri ulama yang setuju dengan pendapat Ahmad Khatib dalam
menolak tarekat, walaupun di pihak pembela tarekat juga ada murid Ahmad Khatib,
namun beliau tidak dapat mematahkan argumentasi kawan-kawan seperguruannya.
Polemik Murid-Murid dan Murakazah Syekh Khatib Al-Minangkabawi
Kecamannya mengenai tarekat, telah dijawab oleh Syekh Muhamamad Saat bin Tanta’ dari Mungkar dan Syekh Khatib Ali di Padang yang menerbitkan beberapa tulisan tentang itu.Kecamannya dalam harta warisan, menumbuhkan kesadaran banyak orang Minangkabau memahami, bahwa tidak dapat disesuaikan hukum waris matrilineal dengan hukum agama. Di antara guru agama banyak juga yang tidak dapat menyetujui pendirian Ahmad Khatib, yang dianggap tidak kenal damai. Walaupun pikiran-pikiran itu mendapat tantangan dari kaum adat, maupun muridnya yang tidak menyetujui pemikiran demikian, namun perbedaan pendapat ini telah melahirkan hasrat untuk lebih berkembang, menghidupkan kembali kesadaran untuk pengenalan kembali diri sendiri, yaitu kesadaran untuk meninggalkan keterbelakangan.
Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi berkontroversi dengan sayid utsman
(mufti betawi) dan beberapa ulama yang berasal dari palembang dan ulama-ulama
yang lainya. Polemik yang paling hebat adalah pandangan tentang tarekat
naqsyabandiyah. Syekh Khatib Al-Minangkabawi telah disanggah ramai ulama ulama
minagkabau sendiri terutama oleh ulama besar, sahabatnya, beliu adalah Syeikh
Muhammad Sa’ad Mungka yang berasal dari Mungkar Tua, Minangkabau
Dalam beberapa karya Ahmad Khatib menunjukkan bahwa barang siapa masih
mematuhi lembaga-lembaga “kafir”, adalah kafir dan akan masuk neraka. Kemudian,
semua harta benda yang diperoleh menurut hukum waris kepada kemenakan, menurut
pendapat Ahmad Khatib harus dianggap sebagai harta rampasan.
Pemikiran-pemikiran yang disampaikan Ahmad Khatib memicu pembaruan pemikiran
Islam di Minangkabau. Di pihak lain perlawanan yang berarti terhadap
pemikiran Ahmad Khatib datang dari kalangan Islam tradisi yang adakalanya
disebut kaum tua. Pemahaman dan pendalaman dari Syekh Ahmad Khatib
Al-Minangkabawi ini, kemudian dilanjutkan oleh gerakan pembaruan di
Minangkabau, melalui tabligh, diskusi, dan muzakarah ulama dan zu’ama,
penerbitan brosur dan surat-kabar pergerakan, pendirian sekolah-sekolah seperti
madrasah-madrasah Sumatera Thawalib,Syeikh Khatib Al-Minangkabawi juga
mendapatkan terhadap kesuksesannya sebagai guru, Muhammad Sa’id Babsil, seorang
ulama Arab dan mufti mazhab Syafi’i yang juga guru masjidil haram merasa iri
terhadap kemajuan yang dicapai oleh Ahmad Khatib di negeri Arab.
Ia merasa tidak senang melihat non arab memperoleh tempat mengajar di
pusat pengajaran kota Mekah. Maka atas hasutannya, ketika Ahmad Khatib baru
mengajar di Masjidil Haram, beliu di lempari batu, mufti ini tidak dapat
berbuat lain, karena ahmad khatib mendapat ijin Syarief awn Al-Rafiq untuk
mengajar di situ. Peristiwa yang sama juga dialami oleh muridnya haji
Abdul Karim amarullah di tempat yang sama. Karena gagal mematahkan
semangat dan membatasi Ahmad Khatib di Mekah, ia lalu bertindak sesuka hatinya
kepada haji Abdul Karim Amarullah murid kesayangan Ahmad Khatib. Ketika
Abdul Karim Amarullah datang kedua kalinya ke Mekah beliau lebih banyak
mengajar dari pada belajar. Setelah tempatnya mengajar penuh oleh murid, beliau
disuruh Ahmad Khatib mengajar di Masjidil Haram. Beberapa hari haji Abdul
Karim Amarullah datanglah mufti itu mengusirnya, ia jengkel sekali bahwa yang
meyuruh mengajar di Masjidil Haram adalah Syeikh Ahmad Khatib.
Rasa tidak senang Syeikh Muhammad Sa’id Babsil Kepada Ahmad Khatib
bermula dari dari permusuhannya dengan guru syeikh ahmad khatib yaitu syeikh
bakr al-syatta. Kemudia ditambah lagi dengan iri hati atas sukses ulama asal
Indonesia itu di kota Mekah dan tanah Hijaz.
Sifat Ahmad Khatib dalam menentang adat juga mendapat tantangan dari
banyak guru agama diatara yang mengemukakan tanggapannya kepada Ahmad Khatib
adalah Syeikh Sa’ad adalam tulisannya Tabih Al-Awam, yang telah saya
sampaikan juga di atas dalam buku itu ia menyinggung hal ini sambil lalu dengan
nada sinis ia mengatakan ; “Jika harta orang Minang dianggap haram maka haram
pulalah juga pemberian yang berasal dari suku bangsa ini”.
Ucapan diatas tidak lebih pelampiasan rasa benci belaka kepada ulama
penentang tarekat itu. Semua tantangan yang di hadapi oleh Ahmad Khatib
tersebut tidak megurangi kharismanya, bahkan sebaliknya menambah popularitasnya
dan menambah penghormatan kaum pembaharu/kaum muda di Minang Kabau kepadanya.
WALLOHU 'ALAM
1 komentar:
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
Posting Komentar