Syekh Musthafa Husein
lahir dari keluarga yang berada. Bapaknya adalah seorang pedagang hasil bumi di
Pasar Tanobato serta sudah pula melakukan ibadah haji. Bapaknya berasal dari
Huta ( sekarang desa ) Purbabaru, namun kakek-kakeknya berasal
dari Panyabungan Julu dan
ibunya berasal dari Ampung Siala, Batang Natal.
Syekh Musthafa Husein yang
pada masa kecilnya bernama Muhammad Yatim adalah anak ke 3 dari 8 orang bersaudara,
anak dari H. Husein dan Hj Halimah
1.
Anak tertua ( pertama ) adalah Nuruddin menetap dan
wafat di Malaya (Malaysia)
2.
Hamidah wanita kawin dan wafat di Panyabungan
3.
Muhammad Yatim (Syeikh Musthafa Husein) riwayat hdupnya yang sedang dibahas
4.
Siddik gelar Mangkuto Saleh menetap dan wafat di
Kayulaut Mandailing
5.
Saleh menetap dan wafat di Medan
6.
Mardin ( H. Umnaruddin ) menetap dan wafat di
Mekkah Saudi Arabia
7.
Harun menetap dan wafat di Pekalongan, Jawa Tengah
8.
Abdul Gani meninggal hanyut sewaktu Pasar Tanobato
mendapat serangan banjir besar pada malam Ahad, tanggal 28 Nopember 1915.
Adapun Muhammad Yatim
sendiri yang sesudah nikah dengan nama Musthafa Husein menikah dengan Habibah
dari desa Hutapungkut, Kotanopan ia
mempunyai 9 orang anak yaitu :
1.
Siti Aisyah
2.
Hj Ramlah
3.
H. Abdullah
4.
Sa’diyah
5.
Asmah
6.
Azizah
7.
Fatimah
8.
Abdul Kholik
9.
Faridah
Kelahiran dan masyarakat sekitar
Musthafa Husein lahir pada
tahun 1886,
di Tano Bato,
dari keluarga masyarakat biasa. Keadaan masyarakat pada masa kelahirannya
kebanyakan berada dalam keadaan menyedihkan dan tertekan. Pemerintah kolonial
Belanda pada masa sebelumnya membawa sistem paksa dalam penanaman kopi beserta
pengangkutannya dari pedalaman ke pantai. ( Pada masa itu pemerintah kolonial
membangun pergudangan kopi di Pekantan di daerah pedalaman Sumatera di dekat
perbatasan dengan daerah Pasaman, Sumatera Barat, Muarasipongi, Kotanopan, Maga, Pasar tanobato,Tapus dan Natal .
Menuntut Ilmu
Muhammad Yatim awalnya
mengaji di Hutapungkut dalam
bimbingan Syekh Abdul Hamid ,
sekitar 2 tahun ( 1898 – 1900 ). Dalam pengajian 2 tahun itu pengajiannya hanya
sekali seminggu yaitu pada setiap hari Ahad. Di luar hari mengaji Muhammad
Yatim mengikuti Syekh Abdul Hamid ke kebun kopi yang jaraknya 3 KM dari desa
Hutapungkut. Tidak jarang mereka bermalam di kebun dan baru kembali ke desa
menjelang pengajian berlangsung.
Sesudah pengajian di
Hutapungkut Muhammad Yatim dianjurkan oleh gurunya Syekh Abdul Hamid untuk
memperdalam ilmu agama Islam ke Mekkah, Saudi Arabia.
Dan ini pula sejalan dengan harapan orang tuanya. Pada sekitar bulan Rajab
tahun 1900 ia berangkat ke Mekkah, Saudi Arabia bersamaan dengan keberangkatan
orang-orang yang akan melaksanakan ibadah haji. Keberangkatan ini dibiayai
separuhnya oleh orang tuanya.
Pada 5 tahun pertama
sesudah belajar di Masjidil Haram Mekkah Saudi Arabia Muhammad Yatim merasa
bahwa dia tidak memperoleh ilmu, lalu dia pernah memutuskan akan pindah belajar
ke Mesir.
Walau belum dikonsultasikan dengan orang tuanya. Semua barang-barang sudah
dikemasi dan tinggal menunggu keberangkatan. Pada saat menunggu keberangkatan (
menunggu keberangkatan kapal ) dia berjumpa dengan salah seorang pelajar yang
berasal dari Palembang yang juga sedang menuntut ilmu agama Islam di
Masjidil Haram Mekkah. Kepada pelajar ini Muhammad Yatim menuturkan bahwa dia
mau pindah belajar dari Masjidil Harom, Mekkah ke Mesir karena sesudah 5 tahun
belajar dia belum merasa mendapatkan ilmu. Pelajar yang berasal dari Palembang
itu mengajak Muhammad Yatim berdiskusi serta membantu menjelaskan pelajaran
yang ada selama ini di Masjidil Haram, Mekkah. Sejak itu Muhammad Yatim mulai memahami
perlajaran-pelajaran yang ada selama ini. Dan akhirnya dia mencabut kembali
keputusannya untuk tidak jadi pindah ke Mesir. Seterusnya dia kembali belajar
di Masjidil Haram sebagaimana sediakala. Semenjak itu para gurunya mulai
mengenalnya lebih baik. Pada saat yang demikian guru-gurunya mengubah namanya
dari Muhammad Yatim menjadi Musthafa berarti orang pilihan.
Dalam belajar di Masjidil
Haram Mekkah yang cara belajarnya secara halaqoh ( belajar dengan duduk bersila
mengelilingi guru dan mengambil tempat di serambi mesjid ) dia belajar kepada
ulama-ulama yang terkenal pada masa itu seperti :
1.
Syekh Abdul Qadir bin
Shobir Al-Mandili
2.
Syekh Ahmad Sumbawa
3.
Syekh Saleh Bafadhil
4.
Syekh Ali Maliki
5.
Syekh Umar Bajuned
6.
Syekh Ahmad Khatib Sambas
7.
Syekh Abdul Rahman
8.
Syekh Umar sato
9.
Syekh M. Amin Mardin.
10. Syekh Mukhtar Aththorid
Al-Boghori
Dan ilmu-ilmu yang
dipelajarinya melalui agama Islam seperti :
Al Quran
Bahasa Arab beserta tata
bahasanya
Tafsir
Fiqih
Hadits
Tauhid
Ilmu Falak
Balaghah
‘Arudl
Qosidah Barzanji
Pelajaran-pelajaran ini
diikutinya secara berurutan
Kembali Ke Indonesia
Sekembalinya ke Indonesia
pada tahun 1912 ( dipanggil pulang karena orang tuanya meninggal dunia ) ia
sambil mengajar dia juga terus
menambah ilmu dengan mengadakan hubungan-hubungan ( kunjungan ) kepada guru-guru
/ pemuka masyarakat di Mandailing. Bersamaan dengan itu dia juga membaca
buku-buku sejarah Indonesia dan dunia, politik, perdagangan dan perekonomian, pertanian dan kesehatan.
Di samping itu dia juga bergaul dengan pejabat-pejabat pemerintah kolonial yang
membidangi pertanian, kesehatan dan pamong desa ( pada zaman pemerintah
kolonial disebut kuria dan raja-raja ). Dengan pejabat-pejabat yang digaulinya
itu dimintanya pula untuk mengajar di madrasah yang telah dididirikannya. Dan dalam bergaul dengan
pejabat itu dia tidak memandang agama, walau pada waktu itu ada anggapan bahwa
agama di luar Islam tidak sah. Malahan pendapat ini masih berkembang sampai
sekarang di madrasah setempat. Pemuka dan salah seorang yang digaulinya itu
adalah Dr. Ferdinand Lumbantobing seorang yang
beragama Kristen. Disamping ia ini juga pernah dimintanya untuk mengajar di
madrasah yang didirikannya. Dr. Ferdinand Lumbantobing jauh sebelum
menjadi residen Tapanuli yang berkedudukan di Sibolga pernah
memimpin Rumah Sakit Zending di
Panyabungan sekitar 11 KM dari Purbabaru ke arah utara ).
Selanjutnya pengetahuannya
di bidang pertanian dan perdagangan ini dipraktikkannya pula dengan membuka
perkebunan karet , nenas dan rambutan di sekitar desa Purbabaru.
Kemudian di luar daripada
itu dia juga pergi ke pasar secara teratur ( kepergiannya ke pasar yang secara
teratur ini dimanfaatkannya untuk menjadi pedagang pengumpul dimana pada waktu
harga barang murah dia membeli sejumlah barang dan kalau harga-harga barang tersebut
naik, dijualnya kembali ).
Pendidikan lainnya adalah
membiasakan diri mencatat kejadian-kejadian penting di daerah lokal, nasional
dan internasional seperti letusan gunung berapi, datangnya Tuanku Rao dan Islam ke Mandailing,
masuknya Belanda ke
daerah setempat, penyerahan Belanda kepada Jepang di
Indonesia, kelahiran dan kematian anak / anggota keluarga dan masalah-masalah
yang dihadapinya secara pribadi.
Kemudian dia juga memperluas
wawasan dengan bepergian ke kota-kota semacam Bukit Tinggi, Padang, Medan, Banda Aceh, Jakarta, Pekalongan dan Bogor di dalam negeri
serta Kuala Lumpur dan Pahang di
luar negeri. Kota-kota di dalam negeri terutama di pulau Sumatera dikunjunginya
dengan maksud untuk melihat-lihat perkembangan pendidikan agama, perkembangan
kota dan membeli buku-buku agama untuk madrasahnya. Sedangkan ke kota-kota di
pulau Jawa ia
membuat catatan-catatan berupa pengalamannya sewaktu naik pesawat terbang,
gedung-gedung pemerintah dan pusat-pusat perdagangan yang dilihatnya, kesan
naik kereta api, pemandangan alam serta keadaan mesjid dan jamaahnya, dan
kota-kota di Malaysia dan ditemani oleh sekretarisnya. Dia melihat-lihat
pengolahan karet ( proses pembuatan karet latex ), penambangan bauxit dan
proses pengolahannya.
Di luar daripada
pendidikan, pengalaman dan wawasan yang luas ini dia juga mempersiapkan
kader-kader penerus baik itu dalam bidang pendidikan maupun dalam bidang
perkebunan. Dalam bidang pendidikan dia menyuruh dan mengirim beberapa orang
muridnya untuk memperdalam ilmu agama Islam ke Mekkah maupun negeri-negeri
lainnya seperti Mesir dan Lucknow, India. Sedangkan dalam
bidang perkebunan dia mengutus sekretaris untuk mempelajari pengawetan
buah-buahan seperti nenas dan rambutan serta proses pengalengannya ke Jakarta.
Karier sebagai Pendidik
Sesudah Musthafa Husein
kembali ke Pasar Tanobato pada tahun 1912 ia langsung mengajarkan ilmu agama
yang diperolehnya dari Mekkah di mesjid setempat ( di mesjid setempat
sebelumnya memang sudah ada pengajian yang dipimpin oleh Syekh Muhammad yang
juga pernah belajar agama di Mekkah, Saudi Arabia ). Pengajian itu telah
berlangsung kurang lebih 13 tahun dengan pesertanya yang berdatangan dari
desa-desa sekitar seperti :
1.
Pagaran Tonga,
2.
Hutanamale,
3.
Maga,
4.
Roburan,
5.
Lumban Dolok dan
6.
Purba Julu.
Pengajian itu sendiri
walau sudah berlangsung lama namun bahan kajiannya belum teratur. Bahan
kajiannya sering berulang-ulang dan banyak terarah kepada peribadatan.
Pengajian belum banyak menyingggung masalah-masalah hukum yang pada waktu itu
sudah sangat diharapkan oleh masyarakat ( di samping itu pengajian itu sendiri
belum menggunakan kitab, walau kitab-kitab Melayu sudah banyak dikenal oleh
masyarakat ).
Pada saat pengajian
berlangsung Syekh Muhammad selalu memperkenalkan Musthafa Husein kepada peserta
pengajian yang pada masa itu sering disebut wirid-wirid. Syekh Muhammad selalu
mengatakan bahwa kita kedatangan seorang guru yang alim dan cakap. Dan sejalan
dengan perkenalan ini Syekh Muhammad juga selalu memberi kesempatan kepada
Musthafa Husein untuk memberi pengajian. Dalam pengajian ini Musthafa Husein
memulainya dengan terlebih dahulu mengaji Al Quran ( tulis bacanya ) kemudian
bahasa Arab ( nahwu shorf ) dengan buku pegangan terdiri dari Al Jurumiyah,
Mukhtashor dan Al-Kawakib. Kemudian
menyusul fiqh dengan kitabnya Fathul Qorib dan kitab Melayu, terus Tauhid
dengan kitabnya Kifayatul Awam, dan akhirnya Tasawuf dengan kitabnya Minhajul
Abidin.
Pengajian yang teratur ini
membuat para pesertanya makin meluas dan Musthafa Husein sendiri makin masyhur
serta makin banyak dikenal masyarakat. Dalam pada itu pengajian ini ia juga
banyak menjelaskan masalah-masalah masyarakat terutama yang berhubungan dengan
kehidupan suami isteri dan keluarga.
Pengajian ini membuat
masyarakat bukan hanya mengikuti secara teratur ( pengajian hanya sekali
seminggu yaitu pada setiap malam Selasa ) akan tetapi masyarakat juga meminta
supaya waktu dan peserta pengajiaannya ditambah untuk anak-anak / pemuda dan
ibu-ibu. Belakangan dengan bantuan masyarakat diadakanlah pengajian khusus kaum
ibu yang waktunya pada setiap malam Selasa sesudah sembahyang magrib sampai
waktu sembahyang isya dan sesudah sembahyang isya sampai sekitar jam 21.00 WIB
untuk kaum bapak. Sedangkan untuk anak-anak dan pemuda diadakan pada pagi hari
di mesjid Pasar Tanobato ( tempatnya pengajian ibu-ibu, rumah orangtua ia
sendiri ).
Selanjutnya di luar dari
pengajian yang teratur itu ia juga pergi ke desa-desa sekitar untuk membuka
pengajian sambil mencari obat. ( menurut H. Sulaiman salah seorang muridnya ,
ia pada waktu permulaan perkawinannya ia pernah lemah syahwat. Kunjungan ke
desa-desa ini pernah sampai ke Sibuhuan di sebelah timur pulau Sumatera. (
Pasar Tanobato sebagai tempat tinggalnya berada di bagian barat pedalaman pulau
Sumatera ). Karena itu ia bukan hanya dikenal masyarakat Tanobato dan
sekitarnya akan tetapi juga dikenal oleh masyarakat daerah lainnya.
Bersamaan dengan
berkembangnya pengajian yang dipimpin oleh Musthafa Husein, dimana ia sudah
pula mulai mendapat sebutan Tuan Syekh Musthafa Husein, Syekh Muhammad
berangsur-angsur pula mengundurkan diri dan mempercayakan sepenuhnya pengajian
yang ada kepada Syekh Musthafa Husein ini. ( dalam memimpin pengajian ini Syekh
Musthafa Husein melakukannya secara halaqoh, semacam waktu ia belajar di
masjidil harom Mekkah. Namun sedikit berbeda dengan yang di Mekkah, pengajian
di masjid Pasar Tanobato ini setiap pesertanya diharuskan memiliki buku seperti
belajar di sekolah dewasa ini.
Pengajian di mesjid Pasar
Tanobato itu tidak berlangsung lama hanya sekitar 3 tahun saja. Hal ini
disebebkan Pasar Tanobato karam ( rusak berat ) akibat serangan banjir besar. (
menurut penuturtan H. Sulaiman salah seorang murid tertua Syekh Musthafa Husein
akibat serangan banjir ini penduduk yang hanyut dan hilang cukup banyak. Beruntung
murid-murid Syekh Musthafa Husein semuanya selamat karena beberapa hari
menjelang banjir pemilik rumah penampungan murid-murid itu berkeberatan
rumahnya terus menerus ditumpangi oleh anak mengaji. Karenya murid-murid itu
pindah ke tempat yang sedikit lebih jauh dari rumah tumpangan mereka itu. Dan
sewaktu datang serangan banjir tempat mereka itu terhindar dari banjir dan
mereka semua selamat ).
Selanjutnya Syekh Musthafa
Husein beserta isterinya yang selamat dari banjir pindah ke desa Purbabaru, tempat asal
keluarganya bersama dengan beberapa orang murid. Perpindahan itu
sejalan pula dengan permintaan keluarga dan Kepala Desa ( dulu disebut Ketua
Kampung ). Permintaan ini disertai dengan harapan kelak sesudah Syekh Musthafa
Husein bertempat tinggal di desa Purbabaru penduduknya akan bertambah baik. (
pada masa dahulu beberapa orang penduduk desa Purbabaru dikenal sebagai
pencuri, tukang garong dan penjudi ).
Sampai di Purbabaru
pengajian dilanjutkan kembali sebagaimana sediakala seperti di Pasar Tanobato.
Pengajian juga mengambil tempat di mesjid sebagaimana halnya di Pasar Tanobato.
( sewaktu perpindahan Syekh Musthafa Husein ini ke desa Purbabaru, penduduk
mengharapkan pengajian yang sudah ada dilanjutkan kembali ). Lama kelamaan
peserta pengajian terus bertambah banyak dan mesjid yang ada dirasakan tidak
memadai lagi sebagai tempat pengajian. Maka atas inisiatif Syeklh Musthafa
Husein dan dengan bantuan penduduk setempat dibangunlah gedung tempat belajar
secara tersendiri di dekat rumahnya di pinggir jalan raya trans Sumatera di
tengah-tengah desa Purbabaru. ( semula rumah Syekh Musthafa Husein juga berada
di dekat masjid, sedikit jauh dari jalan raya. Belakangan Syekh Musthafa Husein
merasa rumahnya terlalu sempit di samping terlalu jauh dari tempat mengaji, lalu
ia meminta kepada penduduk supaya dicarikan tanah perumahan di pinggir jalan
raya. Tujuan perpindahan juga untuk memudahkan komunikasi.
Pada pembangunan
rumah, pada waktu permulaannya, penduduk juga membantu .Peserta pengajian
bukan hanya berdatangan dari desa sekitar akan tetapi juga dari desa-desa yang
jauh. Dan karena kebanyakan dari murid-murid ini berasal dari keluarga yang
tidak mampu, dimana mereka tidak mampu menyewa tempat tinggal maka atas
perkenan penduduk, peserta pengajian membangun gubuk-gubuk sementara untuk
tempat tinggalnya. ( gubuk-gubuk yang terbuat dari bambu dan atap ilalang serta
berukuran 2 x 3 meter ini kelak dipertahankan sebagai salah satu ciri Madrasah
Musthafawiyah ).
Gedung tempat belajar
mendapat bantuan dari penduduk setempat maupun orang-orang yang mengirimkan
anaknya mengikuti pengajian dari desa-desa sekitar. Selanjutnya sesudah tempat
belajar pindah ke gedung sendiri sistem pengajian juga berubah dari halaqoh
kepada klasikal sebagaimana sekolah dewasa ini. Kemudian pengajian itu sendiri
diberi nama dengan sebutan madrasah. Dalam perkembangan selanjutnya madrasah
ini diberi nama dengan Madrasah Musthafawiyah yang artinya madrasah pilihan.
Namun walau tempat
pengajian sudah pindah ke gedung tersendiri yang pada tahap permulaan selesai
pada tahun 1931, pengajian di mesjid tetap dilaksanakan sebagaimana sebelumnya.
Namun waktunya hanya pada pagi dan malam hari, masing-masing sesudah sembahyang
subuh sampai menjelang waktu sembahyang duha sekitar jam 07.00 WIB, dan
sesudah sembahyang magrib sampai isya serta sesudah sembahyang isya sampai
sekitar jam 21.00 WIB. Peserta pengajian ini adalah juga anak-anak mengaji
bersama penduduk sekitar desa Purbabaru. Di samping itu Syekh Musthafa Husein
selalu memelihara sembahyang berjamaah di mesjid mulai dari sembahyang subuh,
dhuhur, ashar, magrib dan isya pada setiap harinya. ( dalam pelaksanaan
sembahyang wajib ini Syekh Musthafa Husein amat tertib. Menurut penuturan ia
sendiri kepada sekretarisnya, semenjak baligh tidak pernah meninggalkan
sembahyang wajib satu waktu-pun ).
Dalam kegiatan sehari-hari
Syekh Musthafa Husein sesudah sembahyang subuh berjamaah, mengajar sampai waktu
sembahyang dluha. Kemudian kembali ke rumah untuk makan pagi bersama keluarga.
Setelah makan pagi pergi ke madrasah sampai menjelang waktu dhuhur. Sesudah
sembahyang dhuhur berjamaah di mesjid kembali ke rumah untuk makan siang
bersama dengan keluarga. Kemudian pergi ke kebun bersama murid-muridnya sampai
menjelang waktu sembahyang ashar. Sesudah sembahyang ashar berjamaah di mesjid
kembali ke rumah dan makan sore, juga bersama keluarga. Kemudian duduk-duduk
bersama keluarga di beranda rumah sampai menjelang waktu sembahyang magrib. Di
saat menjelang magrib ia berangkat ke mesjid bersama beberapa orang muridnya. Dalam berangkat ke mesjid itu ada yang
membawa lampu codok, dan ada pula yang membawa buku yang akan dikaji. Setelah
sembahyang magrib secara berjamaah dilanjutkan dengan pengajian yang berakhir
menjelang waktu sembahyang isya. Buku yang dikaji di mesjid adalah fiqh dengan
kitab Idhotun nasyi’iin. Setelah sembahyang isya berjamaah ia pulang ke rumah
bersama-sama dengan beberapa orang muridnya. Dan sampai di rumah ia sering
membaca Al Quran sampai larut malam. Kemudian pada tengah malam juga sering
bangun untuk mngerjakan sembahyang tahajjud secara sendirian. Seterusnya bangun
pagi dan langsung ke mesjid, demikian selanjutnya berlangsung secara amat
teratur setiap tahunnya.
Adapun kunjungannya ke
sekolah, ia lakukan juga secara teratur. Ia ke sekolah mengajar pada kelas
terakhir. Dalam mengajar ini ia amat memperhatikan murid-muridnya satu persatu
mulai dari perkembangan pengetahuan murid, penampilannya, kesehatannya serta
kemampuannya dalam mengajarkan ilmu yang telah diperolehnya itu.
Memulai Usaha
Sesudah tahun 1934 (
sesudah mengajar sekitar 19 tahun ) ia mulai beralih dari mengajar ke bidang
usaha. Ia hanya sesekali pergi ke madrasah untuk melihat-lihat serta memberi
pengarahan dan pengawasan. Untuk selanjutnya madrasah banyak dipercayakan
kepada kemenakannya yang sekaligus juga kader dan penerusnya yaitu Syekh Abdul
Halim Khatib. Dan menantunya Syekh Ja’far Abdul Wahhab Tanjung. Dalam bidang
usaha ini ia memperluas kebun karet, nenas dan rambutan. Termasuk dalam hal ini
pengolahan karet menjadi latex, usaha pengawetan buah dan rencana
pengalengannya. ( Khusus usaha buah ini belum sempat terlaksana karena
datangnya serangan Jepang ke daerah Mandailing / Indonesia ). Di samping itu ia
juga meneruskan usahanya dalam bidang perdagangan serta tetap mengembangkan
pengajian di mesjid seperti disebut diatas.
Di dalam pendidikan formal
ini ia selalu menekankan kepada murid-muridnya untuk hidup mandiri. Ungkapannya
yang selalu dikenang ialah “ tuan kecil “ lebih baik daripada jongos besar.
Kemudian dalam hidup ini ia selalu menekankan jangan mengharap-harapkan bantuan
dan belas kasihan orang lain, apalagi mengharapkan sedekah. Dengan tegas ia
mengatakan “ baen na tuho, borkatan dei “ ( usaha sendiri
lebih baik dan lebih berkat ). “ Hasil usaha sendiri walaupun kecil lebih baik
dari bantuan atau pemberian orang lain, walau bantuan atau pemberian orang lain
itu lebih besar “. Kata ia.
Lebih daripada itu ia juga
selalu berpetuah ( semacam nasihat ) kepada murid-muridnya agar setiap ilmu
yang diperoleh bagaimanapun sedikitnya supaya diajarkan kepada orang lain.
Kemudian dalam menempuh hidup ini juga supaya bekerjasama dengan pemerintah
maupun pengusaha. Dan kepada setiap tamu supaya dihormati walaupun tamu itu
bukan orang Islam. ( Hal ini dibuktikannya sendiri dengan menerima kunjungan
orang Belanda ke rumahnya dengan penyambutan yang semarak, diantaranya dengan
penyambutan lagu-lagu pujian yang ungkapan-ungkapannya berbahasa Arab. Di
samping itu ia juga memuliakan raja-raja daerah yang pada masa itu banyak yang
korup dan tindakan-tindakannya banyak yang bertentangan dengan ajaran Islam ).
Kemudian dalam hidup, ia juga tidak mencampuri perkara adat istiadat daerah, ia
hanya menerangkan hukum-hukumnya terserah kepada yang bersangkutan tetap
melaksanakannya atau menghentikannya. Ia memberi kebebasan kepada setiap orang.
Selanjutnya di luar
daripada itu ia juga selalu memperhatikan kesukaran orang lain, baik itu yang
datang meminta bantuan secara langsung maupun melalui orang lain. Setiap orang
yang datang meminta bantuan akan dibantunya sekuat tenaga atau kalau tidak
dapat dibantunya, dimintakannya bantuan orang lain ( orang ketiga ) yang
memungkinkan untuk membantunya. ( dalam bantuan melalui orang ketiga ini sering
yang bersangkutan tidak mengetahui bahwa dia mendapat bantuan dari Syekh
Musthafa Husein ).
Ia juga sering menghadiri
setiap keramaian yang diadakan oleh masyarakat, baik itu perayaan-perayaan
keagamaan berupa Maulid Nabi Muhammad maupun Isra’ Mi’rajnya , perkawinan
ataupun kemalangan. Disamping itu ia juga menghadiri acara-acara keluarga
semacam memasuki rumah baru, syukuran maupun tahlilan ( dalam bahasa daerah
sering disebut mangontang dongan atau marpio malim atau marontang malim ).
Kemudian di luar daripada itu juga ia mengunjungi ulama-ulama yang lebih kecil
sekalipun ke desa-desa tempat tinggalnya dan menghadiri acara-acara peresmian
mesjid atau perayaan-oerayaan keagamaan yang diselenggarakan oleh anak-anak
muridnya. ( dalam menghadiri setiap upacara ini ia selalu membawa serta
beberapa orang muridnya).
Selanjutnya di luar
daripada itu semua ia juga mempersiapkan kader-kader penerus dengan mendorongnya
untuk memperdalam ilmu pengetahuan agama Islam ke sumber aslinya ke Mekkah,
saudi Arabia atau negara-negara Islam lainnya. Ia juga mengangkat kader-kader
itu menjadi anggota keluarganya dengan mengawinkan putri-putrinya atau putri
saudaranya kepada kader-kader yang telah dibinanya itu. Hal itu semua
dilakukannya untuk mengembangkan ajaran dan syi’ar Islam kepada seluruh
masyarakat, terutama masyarakat Mandailing Natal, Sumatera Utara, Indonesia.
Kegiatan dan perjuangannya
Syekh Musthafa Husein
mempunyai kegiatan utama mengembangkan dan menyiarkan Islam. Dalam
mengembangkan ajaran Islam itu ia mendirikan lembaga pendidikan Islam yang
kemudian bernama Madrasah Musthafawiyah Purbabaru. Dalam mengelola madrasah ini
ia bekerjasama dengan masyarakat dan pemerintah. Masyarakat memberikan tenaga
dan dana serta anak, dan pemerintah memberikan penghargaan ( pemerintah
kolonial Belanda pernah memberikan bintang tanda jasa atas usahanya dalam
bidang lembaga pendidikan ini pada tahun 1936 ). Pemberiannya diberikan dalam
suatu acara besar di gedung kantor Konteler Belanda di Kotanopan yang dihadiri
oleh segenap huria di daerah Mandailing dan Natal.
Selanjutnya dalam bidang
pendidikan juga, ia mengusahakan kitab-kitabnya dari penerbitan-penerbitan di
dalam dan di luar negeri. Dari penerbitan dalam negeri ia langsung mendatangi
atau menyurati penerbitan tersebut, sedangkan dari penerbitan luar negeri
semacam Mekkah, Saudi Arabia ia memesannya melalui murid-muridnya yang sedang
belajar di negara tersebut. Juga dalam bidang pendidikan ini ia mengangkat
pembantu-pembantu yang pintar, berani, berinisiatif, serta komunukatif dengan
pemerintah maupun masyarakat. Seterusnya dalam upaya menyiarkan Islam ia
membentuk organisasi persatuan pelajar-pelajar dan lulusan madrasah dengan nama
Al Ittihadiyah Islamiyah Indonesia ( AII ). Organisasi ini berpusat di
Purbabaru dan dengan cepat cabang-cabangnya berdiri di daerah Mandailing,
Angkola, Padangsidempuan, Sipirok dan Sibuhuan. Di samping itu dengan AII ini
ia berusaha menyeragamkan kitab-kitab agama di seluruh madrasah terutama
madrasah-madrasah yang ada di daerah setempat.
Bersamaan dengan itu ia
juga mensponsori pendirian koperasi di Madrasah Musthafawiyah dengan maksud
untuk membantu murid-muirid yang mengalami kesukaran dalam perbelanjaan selama
menuntut ilmu. ( koperasi didirikan dengan badan hukum yang tertanggal 25
Januari 1936 )
Selanjutnya jauh sebelum
pengembangan pendidikan ini ia juga memasuki organisasi Sarekat Islam yang
tujuannya untuk mencerdaskan bangsa dan menanamkan kesadaran kepada masyarakat
bahwa salah satu tugas Islam untuk membebaskan manusia dari kebodohan,
keterbelakangan dan kemiskinan. Dalam organisasi ini ia pernah terpilih menjadi
Presiden ( Ketua ) Cabang Pasar Tanobato. Hanya saja sesudah kepemimpinan ia,
organisasi ini mengalami pasang surut sebagaimana juga yang dialami oleh
daerah-daerah lainnya di Indonesia. Namun bagaimanapun dengan organisasi
Syarekat Islam ini pula ia banyak berkenalan dengan pemimpin-pemimpin Islam
lainnya.
Di luar daripada Sarekat Islam ini
ia juga pernah membawa dan mendirikan organisasi Nahdlatul 'Ulama untuk
daerah Sumatera Utara. Dalam organisasi NU ini disamping pernah menjadi
pimpinan untuk daerah Sumatera Utara, ia juga pernah dipilih untuk menjadi
anggota syuriyah NU tingkat Pusat di Jakarta. Dan selanjutnya dengan organisasi
ini pula ia pernah dicalonkan dan dipilih menjadi anggota konstituante ( DPR
Pusat ) untuk daerah pemilihan Sumatera Utara, walau kedudukan ini belum sempat
didudukinya karena sesudah terpilih, ia meninggal dunia. ( Sehubungan dengan pemilihannya
menjadi anggota konstituante ia pernah memberikan seruan kepada masyarakat
untuk memilih tanda gambar NU pada pemilu tahun 1955 )
Kemudian sejalan dengan
kedudukan ia selaku pimpinan / pendiri Madrasah Musthafawiyah Purbabaru,
Presiden Syarekat Islam di daerah dan Pimpinan Pusat AII (Al Ittihadiyah
Islamiyah Indonesia ) serta pimpinan daerah NU pada masa
Pemerintahan Militer Jepang di Indonesia ia pernah dipilih menjadi anggota
Tapanuli Syungyung Kai dan Hokokai pada tahun 1945. Dan menjelang kemerdekaan
ia ditetapkan pula menjadi pimpinan Majlis Islam Tinggi Sumatera Utara yang
kelak menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (
MASYUMI ). Namun belakangan sesudah NU menarik diri dari Masyumi ia juga ikut
menarik diri, dan oleh NU ia diangkat menjadi salah seorang anggota Syuriyah di
Tingkat Pusat sebagaimana disebutkan diatas.
Selanjutnya pada masa
Agresi Belanda sesudah Indonesia merdeka ia bersama ulama-ulama setempat sepert
Syekh Ja’far Abdul Kadir Al Mandily dan H. Fakhruddin Arif pernah mengeluarkan
fatwa bahwa wajib ( fardu ain ) bagi setiap muslim yang mukallaf untuk
mempertahankan kemerdekaan dari agresi Belanda. ( fatwa ini disebarluaskan oleh
Ketua Urusan Agama Kecamatan Kotanopan dan Batanggadis yang masing-masing
berkedudukan di Kotanopan dan Panyabungan ).
Pribadi yang mandiri
Semula kepulangan Musthafa
Husein ke kampung adalah untuk menziarahi orangtuanya yang telah meninggal
dunia ( orang tuanya meninggal semasa ia sedang memperdalam ilmu agama Islam di
Masjidil Harom Mekkah Saudi Arabia ). Sesudah berziarah ia merencanakan akan
kembali ke Mekkah untuk memperdalam ilmu agama Islam yang dirasanya belum
memadai. Namun sesampai di kampung ia diminta untuk mengajar di mesjid Pasar
Tanobato untuk melanjutkan pengajian yang telah ada sebelumnya. Dan lebih
daripada itu ia juga dipaksa oleh ibunya untuk berumah tangga.
Pada saat permulaan
mengajar dan berumah tangga perhatiannya hanya terpusat pada masalah kaji tanpa
memikirkan masalah-masalah ekonomi. Pada mulanya ia hanya memanfaatkan harta
dan rumah peninggalan orang tuanya serta dari bantuan / sumbangan masyarakat.
Baru belakangan ia membuka usaha sendiri yaitu perkebunan karet. ( perkebunan
karet ini pada mulanya juga mendapat bantuan dari murid-muridnya terutama dalam
pembukaan lahannya ). Belakangan perkebunan ini dikelola secara besar-besaran
dengan mendatangkan buruh Jawa dari Pematang Siantar. ( Usaha mendatangkan buruh
ini mendapat bantuan dari saudaranya yang sudah lama menetap di daerah setempat
).
Selanjutnya hasil perkebunan karet ia olah menjadi karet latex yang pada
waktu itu mendapat pasaran yang bagus di dunia internasional. Untuk itu ia
mendirikan beberapa buah rumah asap serta membeli beberapa buah mesin giling.
Di samping itu karet yang sudah ia olah ini ia bawa pula ke kota untuk
mendapatkan harga yang lebih besar. ( Hal semacam ini masih jarang dilakukan
oleh penduduk setempat di kala itu, walau penduduk banyak juga memiliki
perkebunan karet ).
Selanjutnya usaha
perkebunan karet itu ia perluas pula dengan perkebunan nenas dan rambutan. (
Dalam perkebunan nenas dan rambutan ini pada mulanya juga bantuan dari
murid-muridnya dan para orang tua murid yang memasukkan anaknya ke Madrasah
Musthafawiyah ). Hasil perkebunan ini menurut rencananya akan diawetkan dan
dikalengkan untuk kemudian diekspor ke luar negeri untuk mendapatkan nilai
tambah sebagaimana sering didengungkan oleh Bacharuddin Jusuf Habibie belakangan
ini. Untuk ini ia sudah mengutus pembantunya ke Jakarta guna mempelajari proses
pengawetan dan pengalengan buah. ( Namun karena kedatangan Jepang ke Indonesia
rencana itu tidak sempat terealisir ). Akhirnya hasil buah-buahan itu hanya
dijual ke pasar-pasar setempat di samping pada setiap panen selalu diberikan
kepada murid-muridnya untuk dimakan mereka sepuasnya.
Bersamaan dengan usaha
perkebunan ini ia juga aktif ke pasar untuk mengikuti perkembangan harga-harga
beberapa komoditi semacam karet, kain, mas ataupun lahan persawahan. Ia selalu
pergi ke pasar Kayulaut pada setiap hari Selasa dan ke pasar Panyabungan pada
setiap hari Kamis. Di pasar-pasar ini ia selalu menempati tempat khusus (
tempat itu adalah rumah saudaranya yang lokasinya di dekat pasar ) selama
bertahun-tahun. Dari tempat itulah ia memantau harga-harga komoditi semacam
karet, kain maupun mas sebagaimana disebut diatas. ( Di daerah setempat ia
membeli dan kalau perlu menahan barang semacam karet, kain maupun mas. Dan
kalau harganya sudah naik barulah dijual kembali ). Dalam pada itu ( dalam
mengembangkan usahanya ) ia sudah berani meminjam uang untuk membeli barang
atau lahan persawahan yang ditawarkan orang kepadanya, dimana untuk itu
selanjutnya dalam pengambilan uang tersebut sering dilebihkannya dengan
sebutan, ini sedekah saya.
Dalam kehidupan ini ia
berprinsip bahwa seorang muslim itu harus kaya dan mampu menghidupi anak
isterinya dengan usaha sendiri. Usaha yang ia kembangkan itu terutama sesudah
tahun 1934, kelihatannya membawa hasil. Dengan hasil usahanya itu ia bisa
membangun rumah yang cukup besar ( walau pada permulaan membangun rumah ini
juga mendapat bantuan dari penduduk desa Purbabaru ) di pinggir jalan raya di
tengah-tengah desa Purbabaru.
Kemudian ia juga memasuki dan
ikut aktif dalam organisasi untuk mencapai tujuannya yaitu mengembangkan ajaran
dan syiar Islam sebagaimana disebut diatas. Dalam usahanya mengembangkan ajaran
Islam ia mendirikan lembaga pendidikan yang pada saat itu dan masih berdiri
dengan megahnya yaitu Madrasah Musthafawiyah Purbabaru. Dalam usaha
mengembangkan ajaran Islam ia tidak hanya mendirikan lembaga pendidikn Islam
akan tetapi juga mempersiapkan kader-kader penerus dan kelak kader penerus itu
ia percayai sepenuhnya dan kemudian kader-kader itu ia masukkan ke dalam
lingkungan keluarga dengan mengawinkan putrinya atau putri-putri saudaranya
kepada kader-kader tersebut. Kemudian dalam memperjuangkan ide-idenya itu ia
juga bekerjasama dengan pemerintah kolonial dan raja-raja di daerah setempat. Akhirnya
ia juga berkecimpung ke dalam politik memasuki konstituante untuk
memperjuangkan nilai-nilai Islam di bumi persada tanah air. Dan sebelumnya ia
juga ikut berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan dengan memberi fatwa kepada
masyarakat bersama dengan ulama-ulama lainnya bahwa mempertahankan kemerdekaan
itu hukumnya wajib bagi setiap muslim yang telah dewasa ( mukallaf ).
Meninggal Dunia
Setelah Syeikh Musthafa
Husein meninggal dunia pada tahun 1955,
tampuk kepemimpinan di teruskan oleh anak ia Syeikh Abdullah Bin Musthafa bin
Husein Nasution,
di bawah kepemimpinannya Pondok Musthafawiyah berkembang pesat,
ini juga tak jauh dari usaha menantu Syeikh Musthafa Husein Syeikh Abdul Halim
Khatib Lubis Al-Mandaili sebagai Ra`is Al-Mu`allimin pesantren tersebut,
ia pernah menimba ilmu di Shalatiyah Makkah dan Masjidil Haram,
di antara guru ia adalah Syeikh Qadhi Hasan Masaath Al-Makki,
di antara teman ia belajar semasa di Makkah adalah Syeikh Yasin Al-Fadani dan
Syeikh Zakariya bin Abdullah Bila Batu bara,
Muhammad Zainuddin Al-Ampenani , Syeikh Adnan Lubis. Ia memiliki karangan
berbahasa melayu, yang masih disimpan di Purba Baru, ia meninggal dunia
pada tahun 1991 M.
sumber www.wikipedia.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar